Jumat, 19 Oktober 2012



Tauhid Syiah dan Ahlussunnah Berbeda Jauh

Last Updated ( Saturday, 22 September 2012 00:53 )Oleh Kholili Hasib
Tauhid dalam keyakinan Syiah dan Ahlussunnah memiliki sejumlah titik pembeda. Dalam keyakinan Syiah, tauhid yang murni dikonsepsikan satu paket dengan imamah. Imamah sendiri merupakankepercayaan paling sentral. Kepercayaan terhadap imamah menjadi syarat mutlak untuk beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.

Syiah membatalkan tauhid seseorang karena ingkar terhadap imamah. Tidak sah keimanan seseorang –meskipun secara tulus beriman kepada Allah dan Rasul–Nya- jika tidak ditopang oleh kepercayaan terhadap keimamahan Syiah. Al-Majlisi, seorang ulama Syiah kenamaan mengatakan, “Ketauhilah bahwa kalimat syirik dan kufur itu ditujukan -sebagaimana termaktub dalam teks-teks Syiah- terhadap orang-orang yang tidak mempercayai keimamahan Ali dan para imam setelah beliau yang terdiri dari keturunan beliau, dan mengutamakan orang lain daripada mereka, menunjukkan bahwa orang-orang itu kafir dan kekal di neraka” (Bihar al-Anwar, 23/390).
Dalam Ahlussunnah, khalifah dan Imam tidak menjadi syarat sah keimanan seorang mu’min. Ia merupakan jabatan kepala negara yang dipilih melalui syuro. Sama sekali tidak terkait dengan tauhid. Justru, tauhid seorang muslim bisa rusak jika ia mengkultuskan secara membabi buta seorang manusia melebihi Nabi dan Malaikat.
Namun, keyakinan Syiah, kultus pada Imam justru menjadi pondasi keimanan. Dalam tafsir al-Qummi–kitab tafsir Syiah- dikatakan bahwa apabila seseorang mengakui keimamahan selain Imam Ali dan keturunannya, maka semua amal ibadahnya digugurkan Allah (Tafsir al-Qummi 2/251). Dalam akidah Syiah, mengakui kepemimpinan orang lain selain Ali dan keturunannya dicap sebagai musyrik. Di sinilah letak perbedaan tauhid yang sangat tajam ditemukan, dan saling bertolak belakang antara Syiah dan Ahlussunnah. Konsep keimanan dan syirik keduanya berbeda.
Ayat-ayat yang berkaitan dengan tauhid, syirik dan sebagainya dita’wil oleh ulama’ Syiah dengan konsep Imamah sebagai landasannya. Umumnya ayat yang berkaitan dengan konsep syirik misalnya, ditafsirkan secara konstan tidak lepas dari kepercayaan kepada para Imam Syiah.
Istilah al-Syirku dalam ayat-ayat al-Qur’an tidak dimaknai sebagaimana mufassir Ahlussunnah, bahwa artinya menyekutukan Allah, menjadikan selain Allah sebagai Tuhan. Mufassir Syiah memaknai dengan arti “menyekutukan para Imam”, bukan menyekutukan Allah sebagaimana akidah Ahlussunnah.
Salah satu di antaranya, surat al-Zumar ayat 65. Terjemahan ayat tersebut adalah: “Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelum kamu. Jika kamu mempersekutukan Allah, niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi”. Al-Kulaini dalam kitab al-Kafi menjelaskan bahwa yang dimaksud menyekutukan dalam ayat tersebut adalah mempersekutukan Imam Ali dengan kepemimpinan orang lain.
Surat al-Baqarah ayat 36 yang menjelaskan tentang persaksian keimanan kepada Allah dan Rasulullah SAW diselewengkan menjadi keimanan terhadap Imam dan Ahlul Bait. Terjemahan ayat tersebut adalah, “Katakanlah (wahai orang-orang mukmin) ‘Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami’.” Ayat ini ditafsirkan oleh al-Kulaini bahwa yang dimaksud beriman kepada yang diturunkan Allah adalah beriman kepada Ali, Fatimah, Hasan, Husein dan para Imam setelah mereka.
Namun, pemaknaan ayat-ayat al-Qur’an tersebut tidak pernah diajarkan oleh Ali r.a. dan para Imam keturunannya. Hasan, putra Ali r.a., justru mengecam orang-orang yang mengkultuskan Ali r.a secara berlebihan. Hasan r.a menyebut orang-orang Syiah yang berkeyakinan bahwa Ali r.a. akan hidup kembali sebelum hari Kiamat sebagai orang-orang pembohong (Siyar a’lam al-Nubala’ 3/263). Ali Zainal Abidin, cucu Ali r.a, melarang keras kelompok yang ‘menyembah’ Ahlul Bait bak seperti berhala. Ia berkata, “Wahai penduduk Irak, cintailah kami seperti mencintai Islam. Jangan cintai kami seperti orang jahiliyah mencintai berhala. Sebab, cinta yang telah kalian tunjukkan kepada kami hanya menjadi cela bagi kami” (Siyar a’lam an-Nubala’ 4/302).
Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa konsep syirik dibongkar dengan memasukkan konsep Imamah sebagai dasarnya. Syirik, yang dalam pemahaman Ahlussunnah adalah mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang lain selain-Nya, diperluas maknanya sehingga menjadi orang yang mempersekutukan Allah dan yang mempersekutukan Imam Ali.
Konsep syirik tidak sekadar penyekutuan terhadap Tuhan, tapi juga kepada Imam yang notabeneadalah manusia. Konsep seperti ini tampak mirip dengan paham ‘antroposentrisme’ yaitu paham yang meyakini manusia sebagai kebenaran. Meski bukan persis sama dengan antroposentrisme yang berasal dari tradisi Barat, konsep akidah Syiah yang menjadikan imamah sebagai sentral keyakinan menjadikan para imam sebagai asasnya dapat dikatakan memiliki unsur-unsur paham antroposentrisme.
Konsep tauhid kepada Allah, ternyata tidak dapat berdiri sendiri dalam Syiah. Tauhid Syiah ternyata perlu ditopang dengan kepercayaan kepada para Imam. Dengan demikian, kita bisa katakana bahwa konsep imamah menjadi pandangan hidup Syiah, termasuk menjadi elemen mendasar dalam konsep tauhid. Perbedaan mendasar dalam ketuhanan ini makin memerkuat pendapat ulama’ Syiah, al-Jaza’iri yang pernah mengatakan, “Sesungguhnya kami (Syiah) tidak pernah sama dengan mereka (nawasib/golongan di luar Syiah) dalam memahami tentang Tuhan, iman dan Nabi”. Jadi, perbedaan Ahlussunnah dengan Syiah bukan sekadar perbedaan madzhab, tapi secara teologis memiliki garis demarkasi yang jauh.